

Suara ibu entok dan anaknya membangunkan kami pada Minggu subuh, 24 Juli 2016. Sekitar usai waktu salat, rupanya mereka sudah ramai mencari-cari sarapan. Begitu juga dengan kawanan angsa di dalam kandang. Nuansa pedesaan terasa sangat kental. Jauh sekali dari kebisingan, apalagi hiruk-pikuk kemacetan. Yang terdengar pagi itu hanya suara tongeret dan jangkrik yang masih bernyanyian sejak malam, bunyi sayup-sayup sapi pedaging yang menyambut majikan ketika diberi makan, kibasan ekor ikan di kolam, dan entok serta angsa yang tak sabar menunggu pemiliknya mengantarkan pakan. Penduduknya yang kebanyakan berprofesi sebagai petani begitu bersahaja. Tidak ada bangunan megah, apalagi cluster perumahan mewah.
Selesai salat subuh, Eha rupanya sudah siap sedia menghidangkan sarapan untuk kami. Menu wajib tentunya ada singkong goreng dan arabika hasil panenannya. Selain itu, ada nasi goreng dengan lalap tomat segar dari kebun yang ia garap dan sepanci minuman herbal beraroma menggoda. “Ini namanya wedang jonggol. Karena dikasih tahu resepnya dari orang Jonggol,” tutur Eha sambil menggendong putra bungsunya. Untuk membuatnya, cukup mencampur daun kopi, sereh, cengkeh, bunga lawang, dan kapulaga dalam satu panci berisi air. Setelah mendidih, minuman hangat aromatik ini pun siap dinikmati. Bagi yang tidak senang manis, sebetulnya rasa godokannya sudah nikmat bersensasi rempah jadi kalaupun langsung diminum begitu saja ya tak masalah. Namun, bagi penggemar manis, wedang ini juga akan tetap terasa mantap bila dibubuhi gula aren atau palem. “Tidak ada takaran pasti tiap bahan harus segimana. Campur-mencampur (komposisi) bahan sesuai selera yang mau minum saja,” paparnya yang sangat antusias menjamu kami. “Dulu saya mengidap maag akut. Habis dapat resep wedang ini, kalau perut mulai terasa tidak enak, kembung, atau masuk ya bikin saja. Sampai sekarang sudah tidak terasa (maag) lagi tuh,” aku ibu tiga anak ini. Saya yang kebetulan pagi itu tengah mengalami perut sebah dan masuk angin tentu bahagia sekali jumpa dengan minuman ini. Tidak lebih dari lima menit, ternyata keluhan itu ampuh teratasi.
Selanjutnya, petualangan hari kedua diawali dengan jogging ke kebun kopi. Selesai sarapan, kami lantas berkemas menuju Gunung Datar Habib dan Gunung Cibeet untuk menanam benih pohon kopi robusta dan arabika bersertifikat dari Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) Sukabumi serta pinus. Benih-benih itu ditanam untuk konservasi hutan Perhutani di beberapa titik yang kondisi tanahnya mulai terganggu longsor akibat pohon pinus di sana sebagian telah menua. Lokasinya dekat dengan Curug Cibeet yang menjulang dari Gunung Cibeet. Agar tidak merusak lingkungan, sebaiknya pengunjung berjalan kaki dari pos keamanan di kaki Gunung Datar Habib sejauh 800 meter menuju curug dengan ketinggian sekitar 35 meter itu. Medan jalan memang berupa tanah diselingi bebatuan. Namun, kondisinya sudah cenderung mulus menanjak untuk dilalui.
Sepanjang jalan, kami menikmati udara segar yang dihembuskan pohon-pohon pinus di kawasan hutan negara tersebut. Kalau menengok ke kiri, ada Sungai Cibeet yang ternyata menjadi pemisah antara Kab. Bogor dan Kab. Cianjur. “Dulu, di lahan sebrang (Cianjur) itu kebun teh, tapi kini sudah berubah menjadi ladang sayuran,” kata petani yang kebetulan berpapasan dengan kami menuju curug. Tak ketinggalan, selama perjalanan, dapat dijumpai pula di antaranya pohon kopi. Sudah lima tahun ini Perum Perhutani di area itu berinisiatif mendorong masyarakat untuk turut mengoptimalkan potensi lahan si sekitar Curug Cibeet lewat penanaman kopi arabika dan robusta dibarengi dengan revitalisasi pohon pinus – yang kebanyakan usianya sudah tua. Syukurnya, sudah satu tahun misi itu berjalan intensif. Jadi, bayi kopi ditanam, bayi pinus juga ditanam.
Sampai di titik hutan pinus yang perlu direvitalisasi, kami pun menanam benih kopi dan pinus. Adapun benih kopi yang ditanam hari ini merupakan benih dari Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Sukabumi serta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember yang telah disertifikasi oleh Balai Sertifikasi dan Pengawasan Mutu Benih Tanaman Perkebunan Provinsi Jawa Barat. Usianya baru empat bulan. “Sekitar usia satu setengah tahun mereka sudah mulai belajar menghasilkan kopi untuk dipanen walau kuantitasnya masih sedikit,” menurut Jayapari dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor yang setia mendampingi single origin trip ini. Puluhan ribu benih arabika dan robusta tengah ditanam di sekitar pegunungan Kec. Sukamakmur. Selesai menanam benih, kami lantas berenang di Curug Cibeet. Belum puas sebetulnya bermain air, tapi perjalanan masih berlanjut. Kembali ke pos keamanan di kaki Gunung Datar Habib, kami pun makan siang kemudian melanjutkan perjalanan ke kebun kopi di Desa Sukaharja, Kec. Sukamakmur.
Satu jam perjalanan dengan minibus, menjelang sampai di kebun kopi kami berjumpa dengan pula dengan Gunung Batu di ketinggian sekitar 800 mdpl. Ketika tiba di lokasi, kendaraan diparkir di pinggir jalan mengingat untuk ke area kebun perlu sekitar 800 meter melintasi jalan bebatuan dan tanah merah. Di sana ada kebun robusta milik petani asal Lampung, Halim. Sejak tahun 1990-an, ia dan istrinya berkebun kopi dan cengkeh di sana. Belasan pekerja membantu rutinitas di kebun itu. Di lokasi lain di Desa Sukaharja, ada juga kebun kopi garapan Arif Supardi yang menggunakan pohon manggis, durian, dan cengkeh sebagai tanaman pelindungnya. Sebelumnya, ia memang sudah menanam pohon-pohon buah tersebut seluas 20 hektar di sana. Untuk menambah hasil, ia lantas menyelipkan robusta di antaranya. Hasilnya, ternyata baik dan menjanjikan. Bahkan, “Baru-baru ini saya mulai mengolah robusta olah basah,” ujar Arif. Fermentasi dalam olah basah dilakukan untuk meningkatkan nilai citarasa robusta hasil panenannya. Terbukti dengan fermentasi olah basah ini, berdasarkan uji cupping, kelas citarasa robusta itu dapat ditingkatkan dari nonspecialty berkarakter astrigen (77,25 poin) menjadi specialty berkarakter caramely (81,75 poin). “Sudah ada pesanan 2 ton green bean robusta olah basah ini untuk dikirim ke Pontianak, tapi belum bisa terpenuhi semua,” lanjutnya.
Selama musim panen raya antara Mei-Agustus di Desa Sukaharja, aktivitas memproses pascapanen kopi robusta tentu tiada henti. Setiap hari, usai pemetikan, buah-buah kopi diolah. Untuk memperoleh hasil kopi kelas specialty, tentunya perlu sortir buah kopi (disebut juga “ceri”) merah saja yang lulus proses olah. Dengan teknik panen kopi secara selektif ini maka petani hanya memetik kopi yang sudah merah sempurna, daging buahnya lunak, manis, dan biji di dalamnya cenderung kelabu. Aroma dan citarasa kopi yang dipanen selektif itu akan lebih nikmat saat dihidangkan serta tidak mengakibatkan perut kembung bahkan perih bagi penikmatnya. Selanjutnya, kopi segera diolah supaya tidak terlanjur terjadi reaksi kimia yang dapat menurunkan kualitas bijinya. Sementara itu, untuk kopi curah (non-fine coffee), kopi yang diproses tidak melalui tahap pemilihan warna buah. Jadi, baik merah, jingga, kuning, bahkan hijau langsung olah saja. Dari segi rasa dan harga, tentu kedua kelas ini berbeda. Kebanyakan petani kopi di desa ini masih memproses kopi hasil panen mereka dengan teknik olah kering. Adapun lama pengeringan hingga buahnya menghitam dan menciut sekitar 2-3 minggu. Setelah itu, “ceri” yang sudah kering hitam dikupas untuk diambil bijinya.
Secara historis, kemunculan kultur berkebun kopi di Kab. Bogor memang ada latar belakang peran orang Jawa yang bertransmigrasi ke Lampung lalu mengadopsi penanaman komoditas ini ke wilayah pegunungan-pegunungan Kabupaten Bogor. Alhasil, bertebaranlah perkebunan kopi di kabupaten ini, terutama di wilayah bagian timurnya. Bahkan, sampai ada kampung Jawa pula. Luas total kebun kopi yang telah dicatat Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor hingga 2015 saja setidaknya mencapai kisaran 3.000 hektar, terdiri dari lahan hutan Perum Perhutani dan lahan milik masyarakat secara pribadi (0,1%). Sekitar 85% di antaranya ditanami jenis robusta, sedangkan sisanya arabika.
Hari sudah petang. Kendati sebenarnya belum “kenyang” menguak seluruh rahasia kopi di bumi Buitenzorg ini, kami harus pulang. Menjelang malam dengan sekitar tiga jam perjalanan menggunakan minibus, rombongan tur asal Jakarta, Bandung, Depok, dan Tangerang kembali pada hiruk-pikuk kesibukan kota. Sampai jumpa lagi kopi Bogor!